Kamis, 06 Oktober 2011

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Perluasan Akses Terhadap Modal

Oleh: Gianto, disampaikan sebagai pengantar diskusi Rapat Kerja Community Development UI

Paradigma pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya yang berkembang saat ini selalu mengacu pada pertumbuhan ekonomi, sehingga fokus pembangunan ekonomi nasional pun mengacu pada usaha mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Walaupun dampak dari pertumbuhan ekonomi ini secara teori mampu mengurangi angka kemiskian, akan tetapi pertumbuhan bukanlah jaminan penuntasan masalah kemiskinan. Dalam pembangunan ekonomi, pertumbuhan (growth) merupakan necessary condition tetapi bukanlah sufficient condition. Pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingkat kemiskinan akan menurun. Bahkan, pertumbuhan bisa jadi tidak ada kaitannnya dengan penurunan angka kemiskinan. Fakta empirisnya adalah ketika trend pertumbuhan ekonomi selalu naik paska krisis ekonomi, trend angka kemiskinan malah fluktuatif.
Secara konseptual, penuntasan masalah kemiskinan ini harus dilakukan melalui kebijakan yang sistematis dan terprogram sebagai sufficient condition dari pembangunan ekonomi. Akan tetapi, secara faktual program pengentasan kemiskinan yang dijalankan selama ini selalu terkooptasi oleh sistem yang terlalu pro pada pertumbuhan. Sebagai contoh, ketika pemerintah ingin mengurangi kemiskinan masyarakat desa dengan memberi subsidi di sektor pertanian seperti kredit bersubsidi, pupuk bersubsidi dan sebagainya semua ini terbentur oleh regulasi dan kebijakan lain yang menuntut pengurangan subsidi atau terbentur oleh sistem ekonomi yang anti subsidi.
Dampak yang terjadi akhir-akhir ini adalah program- program penanggulangan kemiskinan cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin sebagai program kompensasi atas pencabutan subsidi. Program-program tersebut antara lain berupa penyaluran beras untuk rakyat miskin, program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin, bantuan langsung tunai ( BLT ) dan sebagainya. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Jadi, program pembangunan ( berbasis pertumbuhan ) yang dijalankan pemerintah akhir-akhir ini mengalami banyak kelemahan yang fundamental dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk mengubah paradigma pembangunan ini dalam scope nasional tidaklah mudah karena membutuhkan upaya jangka panjang yang melibatkan seluruh unsur dalam negara. Di sisi lain, kemiskinan akan terus bertambah dan mungkin tak terpecahkan. Sehingga dalam jangka pendek dibutuhkan upaya-upaya atau gerakan penanggulangan kemiskinan yang tumbuh dari kesadaran unsur negara di luar pemerintah, termasuk dalam hal ini mahasiswa sebagai pelopor gerakan itu. Upaya atau gerakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan harus mengacu pada program pemberdayaan masyarakat miskin.


Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Program pemberdayaan masyarakat miskin harus dirancang berdasarkan analisa yang mendalam tentang kemiskinan dan faktor sosial ekonomi lainnya. Dalam konteks Indonesia dan negara berkembang lainnya, masyarakat menjadi miskin bukan karena malas, melainkan karena produktifitasnya rendah. Produktivitas yang rendah itu diakibatkan oleh kurangnya akses dalam bidang ekonomi ( modal ), kesehatan dan pendidikan. Tertutupnya akses masyarakat miskin dalam berbagai bidang terutama ekonomi, kesehatan dan pendidikan menyebabkan mereka sulit melakukan mobilitas vertikal dan terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Masyarakat miskin tidak punya sumberdaya ekonomi (uang) atau dengan kata lain pendapatannya rendah. Pendapatan rendah menyebabkan tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, sehingga produktivitasnya pun rendah. Produktivitas rendah berdampak pada pendapatan yang rendah pula begitu juga seterusnya.
Jadi, salah satu jalan pengentasan kemiskinan adalah dengan cara memutus mata rantai kemiskinan tersebut. Dan salah satu caranya adalah dengan membuka akses modal kepada masyarakat miskin sehingga mereka dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mengakumulasi modalnya hingga semakin meningkat secara gradual, pada akhirnya kesejahteraan akan meningkat. Kesejahteraan yang meningkat akan meningkatkan pula tingkat pendidikan dan kesehatan dan seterusnya.
Sistem keuangan (lembaga keuangan, bank beserta regulasinya) yang ada di negara kita saat ini memang dirancang bukan untuk masyarakat miskin. Dan kebijakan pemerintah terutama dalam memberikan kredit juga kurang memperhatikan aspek sosiokultural, sehingga kebijakan ini justru berperan dalam membentuk stigma dan bahkan budaya malas dan korup pada masyarakat miskin.
Atas dasar itu, skema atau sistem keuangan yang dibangun dalam rangka memperluas akses modal harus berbasis pemberdayaan yang mempertimbangkan aspek sosiokultural masyarakat.

Skema Perluasan Akses Modal Masyarakat Miskin
Sebelum melangkah lebih jauh untuk menentukan skema atau kebijakan perluasan akses modal kepada masyarakat miskin, satu hal yang sangat penting adalah merumuskan definisi kemiskinan yang tepat untuk mendukung target pengentasan kemiskinan yang akurat. Sebuah definisi yang tidak tepat sama buruknya dengan tanpa definisi sama sekali. Jika sebuah program kemiskinan mengizinkan mereka yang relatif tidak miskin untuk turut serta, maka kaum miskin dengan segera akan tersikut keluar dari program oleh mereka yang keadaannya lebih baik. Definisi ini dirumuskan berdasarkan observasi di lapangan serta dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada untuk menjalankan program tersebut. Setelah definisi jelas maka, daftar target atau sasaran program dapat diidentifikasi.
Permasalahan utama masyarakat miskin dalam mengakses modal adalah ketiadaan jaminan secara materi bagi pemberi modal ( kreditor ). Masalah inilah yang menyebabkan mereka sampai saat ini tidak tersentuh sama sekali oleh lembaga keuangan yang ada. Hal ini karena lembangan keuangan hanya akan memberikan kredit kepada pihak-pihak yang mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh bank ( bankable ).
Jadi, skema kredit berbasis pemberdayaan yang tepat bagi masyarakat miskin adalah yang meniadakan jaminan berupa materi dan menggantinya dengan jaminan yang bersifat im-materi. Jaminan itu tak lain adalah berupa modal sosial ( social capital ) yang terbentuk dalam masyarakat miskin terutama masyarakat desa. Sehingga skema penyaluran modal selain mempertimbangan aspek pemberdayaan juga dirancang dengan mengekplorasi kekuatan modal sosial yang ada.
Skema seperti ini mengadopsi keberhasilan Muhammad Yunus ( pemenang hadiah nobel perdamaian 2007 ) dalam mengucurkan kreditnya kepada masyarakat miskin dengan membentuk Grameen Bank. Akan tetapi, walaupun prinsip dasarnya sama, skema teknisnya bisa dimodifikasi berdasarkan kondisi sosial ekonomi yang ada.
Jangan pernah membayangkan bahwa Grameen Bank adalah sebuah institusi bonafit dengan administrasi yang super rumit. Memang, bagi masyarakat awam ketika mendengar bank, maka stigma yang terbangun adalah demikian. Karena target Grameen bank adalah masyarakat miskin yang sebagian besar berpendidikan rendah atau bahkan buta huruf, maka bank yang dimaksud adalah sebuah institusi yang pada awalnya informal, bermodal relative kecil dan administrasi yang sederhana. Intinya institusi tersebut dirancang dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat miskin.
Sebagai tahap awal, pengucuran bantuan modal memang dalam skala kecil dan proses administrasinya pun relatif sangat sederhana. Seberapa besar modal yang akan dikucurkan akan sangat tergantung pada kemampuan kita dalam mengumpulkan modal awal dan pengelolaannya serta berapa target anggotanya.

Secara umum ringkasan skema pengucuran kreditnya adalah sebagai berikut:
1. Peminjam dibagi dalam kelompok yang memiliki latar belakang pemikiran dan kondisi sosial ekonomi yang relatif sama.
2. Anggota kelompok terdiri dari 5 orang dan harus muncul atas inisiatif peminjam. Inisiatif mula-mula muncul dari satu orang yang menjelaskan tentang tata cara bank ke orang kedua begitu seterusnya sampai jumlahnya mencapai 5 orang.
3. Untuk mendapatkan pengakuan sebagai kelompok, maka tiap-tiap anggota kelompok harus diuji pengetahuannya tentang kebijakan-kebijakan bank dan jika masing-masing anggota kelompok sudah memahami maka kelompok tersebut secara resmi disahkan menjadi kelompok peminjam bank. Sehingga kelompok yang terbentuk adalah terdiri dari orang-orang yang benar-benar butuh, serius dan memiliki keinginan keras untuk memperbaiki hidupnya.
4. Setelah kelompok terbentuk maka pertama-tama bank akan meminjamkan kepada dua anggota terlebih dahulu, dalam kurun waktu tertentu ( misalnya satu atau dua bulan ) pinjaman dapat dicicil secara reguler, maka itu menjadi syarat peminjaman tahap kedua untuk dua anggota diberikan lagi begitu juga sampai tahap ketiga untuk satu anggota sisa.
5. Cicilan dibayar sekecil mungkin dan dalam tenggang waktu yang relatif lama ( besar dan lamanya diukur berdasarkan kemampuan peminjam )
6. Merumuskan insentif yang membuat masing-masing anggota kelompok bisa saling mendorong keberhasilan usaha masing-masing. Iklim persaingan yang konstruktif baik sesama anggota kelompok maupun antar kelompok.
7. Bank memberikan pilihan sedangkan kelompok memutuskan dan menyetujui besarnya pinjaman kelompok. Karena kelompoklah yang menyetujui pinjaman anggotanya maka kelompok memiki tanggung jawab moral atas pinjaman.

Untuk langkah yang lebih detail lagi perlu disusun dengan mempertimbangkan kondisi social ekonomi daerah target pemberdayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar